KEMATIAN

Menurut ajaran Buddha ada 4 penyebab kematian:
1. Habisnya usia/masa hidup (ayukkhaya)
2. Habisnya tenaga karma atau akibat perbuatan penyebab kelahiran serta perbuatan pendukung (kammakkhaya)
3. Habisnya usia sekaligus akibat perbuatan (ubhayakkhaya)
4. Kecelakaan, bencana atau malapetaka (upacchedaka)

1. Kematian yang disebabkan oleh habisnya usia kehidupan manusia.

Hal ini diibaratkan sebagai sebuah pelita yang padam karena sumbunya telah terbakar habis.
Usia kehidupan manusia berkisar antara 10 - 100.000 tahun.
Saat Buddha Gautama hidup (sekitar 2.600-an tahun yang lalu) usia kehidupan manusia adalah 100 tahun dan semakin menurun dengan berjalannya waktu.

2. Kematian yang disebabkan oleh habisnya kekuatan karma yang menopang kehidupannya saat ini.

Hal ini diibaratkan sebagai sebuah pelita yang padam karena minyak bakarnya telah habis meskipun sumbunya masih ada.
Kematian seseorang ini terjadi sebelum habisnya usia kehidupan manusia pada saat itu.
Contohnya : orang yang mati karena sakit, orang yang mati mendadak, dll.

3. Kematian yang disebabkan oleh habisnya usia kehidupan manusia dan kekuatan karma yang menopang kehidupannya secara bersamaan.

Hal ini diibaratkan sebagai pelita yang padam karena habisnya sumbu dan minyak bakarnya secara berbarengan.

4. Kematian yang disebabkan oleh musibah yang tiba-tiba dan tak terduga.

Hal ini diibaratkan sebagai padamnya pelita karena tertiup oleh angin.
Contohnya : orang yang mati karena kecelakaan, bencana alam, dll.

Dhammpada 148 :
Tubuh ini benar-benar rapuh, sarang penyakit, dan mudah membusuk.
Tumpukan yang menjijikkan ini akan hancur berkeping-keping.
Kehidupan ini akan berakhir dengan kematian.

Jika terdapat satu hal yang pasti dalam hidup ini, maka hal itu tidak lain adalah bahwa kita semua akan mengalami kematian, tergantung pada suatu proses waktu yang sulit untuk dipahami.
Untuk sebagian orang kematian mungkin sesuatu yang “tabu” atau bukanlah sesuatu yang menyenangkan untuk di bicarakan ataupun dipikirkan, karena sesungguhnya tanpa dipikirkan, kematian itu sendiri pastinya akan datang.
Ada beberapa orang yang terkalahkan oleh rasa takut akan kematian sehingga mereka sangatlah sulit untuk memiliki energi atau semangat untuk hidup terlebih pada saat mengalami sakit.
Ketakutan akan kematian adalah suatu bentuk keadaan pikiran yang tidak sehat.

Kematian dalam ajaran Buddhis biasa disebut lenyapnya indra vital terbatas pada satu kehidupan tunggal dan bersamaan dengan fisik kesadaraan proses kehidupan.
Kematian merupakan transformasi arus kesadaran seseorang yang terus mengalir dalam satu bentuk kehidupan ke bentuk kehidupan yang lain.
Hal ini dapat disebabkan oleh kebodohan batin ataupun kemelekatan. Pada akhir kehidupan fisik, pada saat bersamaan terdapat pemutusan hubungan antara proses mental dan tubuh, yang dengan cepat fisik akan mengalami kelapukan.
Tetapi kelahiran lagi dengan cara yang tepat terjadi dengan segera pada beberapa alam kehidupan.
Dalam buddhis tidak dikenal adanya sosok entitas abadi yang “mungkin” juga kita kenal sebagi roh abadi yang tidak bertransformasi ataupun satu sosok entitas kehidupan tunggal.

Kematian dalam pandangan Buddhis bukanlah akhir dari segalanya, namun kematian berarti putusnya seluruh ikatan yang mengikat kita terhadap keberadaan kita yang sekarang. Semakin kita dapat tidak terikat pada dunia ini dan belenggunya, akan semakin siap kita dalam menghadapi kematian dan pada akhirnya akan semakin dekat kita pada jalan menuju “keadaan tanpa kematian”.
Dalam Buddhis, sesungguhnya kematian tidak dapat dipisahkan dari kelahiran, dan juga sebaliknya dimana setiap yang mengalami kelahiran akan juga mengalami kematian.

Dalam literatur medis dapat dikatakan bahwa kematian otak adalah kematian manusia.
Kriteria kematian otak yang dapat diterima adalah kematian pada batang otak.
Batang otak berada di bagian bawah otak manusia.
Fungsi batang otak berkaitan dengan pengaturan pernafasan, detak jantung, dan tekanan darah.
Secara umum dalam tradisi Buddhis menyepakati bahwa kematian dalam ajaran Buddha tidak ditentukan semata-mata oleh faktor fisik.
Faktor batin yang mencakup kesadaran dianggap berperan sebagai faktor utama kematian.

Perenungan akan kematian memberikan manfaat yang sangat besar kepada siapapun baik ketika masih hidup maupun ketika mendekati ajal.

Buddha mengatakan ada lima hal yang harus sering direnungkan oleh siapapun :
“Usia tua mendatangiku, aku tidak dapat terhindar dari usia tua.
Sakit dapat mendatangiku aku tidak dapat terhindar dari sakit.
Kematian mendatangiku aku tidak dapat terhindar dari kematian.
Aku adalah hasil dari perbuatan-perbuatanku.
Perbuatan adalah sumber, asal muasal dan landasan.
Perbuatan apapun yang kulakukan, baik ataupun buruk, itulah yang akan aku warisi”.
(Anguttara Nikaya III, 71)

Bentuk perenungan kematian diberikan oleh sang Buddha dalam Sutta Nipata 574-581 :

“Hidup di dunia ini tidak dapat diramalkan dan dipastikan.
Hidup adalah sulit, singkat, dan penuh dengan penderitaan.
Karena dilahirkan, orang harus mati.
Inilah sifat dunia.
Dengan usia tua, ada kematian.
Inilah sifat segala hal ketika buah telah masak, buah itu dapat jatuh dipagi hari.
Demikan pula, sesuatu yang terlahir dapat mati pada saatnya.
Bagaikan semua periuk yang dibuat oleh semua ahli tembikar, akan berakhir dengan terpecahkan, begitu pula dengan kehidupan dari semua yang terlahirkan.
Tidak muda maupun tua, bodoh maupun bijaksana akan terlepas dari perangkap kematian, semuanya menuju kepada kematian.
Mereka dikuasai oleh kematian.
Mereka melanjutkan perjalanan ke dunia lain.
Seorang ayah tidak dapat menyelamatkan anak maupun anggota keluarganya.
Lihatlah ! Dengan disaksikan oleh sanak keluarga, disertai air mata dan ratap tangis, manusia dibawa satu persatu, bagaikan sapi menuju ke penyembelihan.
Maka, kematian dan usia tua merupakan bagian yang alami dari dunia.
Jadi, orang bijaksana tidak akan berduka cita, dengan melihat sifat dunia.”

"BATIN PADA SAAT KEMATIAN"

3 Akar perbuatan jahat
1. LOBHA
terlahir di alam setan/peta dan
raksasa/asurakaya
2. DOSA
terlahir di alam neraka
3. MOHA
terlahir di alam binatang

Mohon jangan berpikir bahwa seseorang itu dapat melakukan banyak kamma yang tidak bajik sepanjang hidupnya, dan kemudian hanya dengan mengingat sebuah kamma bajik pada saat kematian dengan tujuan untuk mendapatkan kelahiran kembali yang bahagia.. Seseorang yang bisa mencapai Pengetahuan Keseimbangan terhadap Bentukan dengan mendengarkan ceramah Dhamma: hal ini membutuhkan parami yang sangat kuat dan luar biasa, sebagai contohnya adalah cerita Tambadathika:

-----------------------------------------------
Tambadathika adalah seorang algojo raja. Selama lima puluh tahun ia memancung para pelaku kejahatan, tetapi pada saat tuanya ia tidak dapat lagi memancung dengan satu ayunan, dan iapun pensiun. Pada hari pensiunnya, ia mempersembahkan bubur susu yang manis dengan mentega segar kepada Yang Mulia Sariputta. Selanjutnya Yang Mulia Sariputta memberinya instruksi bertahap (anupubbi.katha) dalam empat tahapan:

- Instruksi mengenai persembahan (dana.katha)
- Instruksi mengenai moralitas (sila.katha)
- Instruksi mengenai surga-surga (sagga.katha): yaitu buah dari persembahan dan moralitas.
- Instruksi mengenai bahaya, kejahatan dan kekotoran dari kenikmatan duniawi (kamanam adinavam okaram samkilesam)
- manfaat pelepasan keduniawian (nekkhamme anisamsam pakasesi).

Kemudian ketika Yang Mulia Sariputta dapat melihat bahwa batin Tambadathika sudah tenang, siap, dan penuh keyakinan, ia mengajarinya Dhamma yang paling superior dari para Buddha (Buddhanam samukkamsika Dhamma.desana):
1. Penderitaan (Dukkha)
2. Sebabnya (Samudaya)
3. Padamnya (Nirodha)
4. Jalan (Magga)

Tambadathika mendengarkan dengan perhatian yang bijaksana (yoniso manasikara). Dan oleh karena pelatihan pengetahuan dan perilaku (vijja.carana) yang cukup pada masa lampau, sekarang ia mampu untuk mencapai Pengetahuan Keseimbangan terhadap Bentukan (Sankhar.Upekkha.Nana), sangat dekat dengan Pengetahuan Jalan Pemasuk Arus (Sot.Apatti.Magga). Kemudian ia menemani Yang Mulia Sariputta berjalan, dan kemudian kembali ke rumah. Tetapi di jalan pulang, satu sosok siluman yang menyamar menjadi lembu jantan menanduknya hingga mati. Pada saat kematian, ia mengingat dua kamma bajiknya dengan sangat jelas: mempersembahkan bubur susu kepada Yang Mulia Sariputta, dan mendengarkan Dhamma. Itu menjadi kamma menjelang kematiannya, dan ia terlahir kembali di alam dewa Tusita.
-----------------------------------------------

Kasus demikian sangatlah istimewa, dan Buddha menjelaskan bahwa hanya sangat-sangat sedikit sekali orang awam (puthujjana) terlahir kembali sebagai manusia setelah kematian.

Mohon diingat bahwa adalah sangat sulit untuk mengendalikan batin seseorang pada saat kematian. Contoh, jika seseorang terbunuh pada sebuah bencana alam seperti gempa bumi atau tsunami, atau jika ia terbunuh di dalam perang atau kecelakaan, atau jika ia diserang oleh seseorang, waktu itu rasa takut tak terelakkan akan muncul. Adalah sangat sulit untuk mengendalikan batinnya ketika ada banyak rasa takut: rasa takut berakar pada kebencian, dan jika seseorang meninggal dunia dengan kesadaran yang berakar pada kebencian, ia akan terlahir kembali di salah satu alam hantu, alam hewan, atau neraka. Juga jika seseorang meninggal dunia dengan penyakit yang sangat mengerikan dengan banyak rasa sakit, adalah sulit untuk mengendalikan batinnya. Dan jika ia sudah diberikan obat yang keras oleh dokter, bagaimana ia dapat mengendalikan batinnya? Meskipun jika seseorang meninggal dunia dengan keadaan yang sangat damai, akan menjadi sangat sulit untuk mengendalikan batinnya, karena batin berubah dengan sangat cepat. Dan jika seseorang tidak pernah berlatih mengendalikan inderanya, atau jika ia tidak pernah bermeditasi dengan baik, jika ia sering menikmati kesenangan indrawi, bagaimana ia dapat mengendalikan batinnya?

Katakanlah seseorang merenung pada kecantikan anak-anaknya, kecantikan dari suami atau istrinya, kecantikan dari rumah atau tamannya, atau kecantikan dari setangkai bunga, dan hal-hal lainnya: itu adalah berakar pada keserakahan dan kegelapan batin. Ini adalah persepsi yang menyimpang (sanna.vipallasa), yang berlandaskan pada perhatian yang tidak bijaksana. Jika seseorang memiliki kebiasaan melihat objek-objek seperti itu dengan perhatian yang tidak bijaksana, akan sangat sulit untuk tiba-tiba saat kematian merenungkannya dengan perhatian yang bijaksana. Seseorang bisa juga tidak pernah merenungkan kematian. kemudian, pada saat di atas ranjang kematian, ia akan mengkhawatirkan tentang kematian dan menjadi tidak bahagia: itu berakar pada kebencian dan kegelapan batin. Ia bisa juga meninggal dunia dengan kebencian pada seseorang, atau ia mungkin meninggal dunia dengan penyesalan atas sesuatu yang buruk yang pernah dilakukan, atau sesuatu yang baik yang gagal dilakukan: itu juga berakar pada kebencian dan kegelapan batin. Seseorang mungkin menjadi bingung akan apa yang akan terjadi setelah kematian: itu berakar pada kegelapan batin. Jika ia meninggal dunia dengan kesadaran demikian (dengan akar keserakahan dan kegelapan batin; kebencian dan kegelapan batin; atau kegelapan batin saja), ia tidak dapat menghindari terlahir kembali di dalam keadaan yang menyedihkan.

Itulah mengapa Buddha, murid-muridnya, dan orang-orang lain mengajar cara bekerja kamma, mendorong orang-orang untuk berlatih tiga landasan perbuatan bajik (persembahan/ dana, moralitas/ sila, dan meditasi/ bhavana): untuk membantu orang-orang terhindar dari terlahir kembali dalam keadaan yang menyedihkan.