Bilal bin Rabah

Bilal bin Rabah adalah seorang budak berkulit hitam dari Habsyah yang masuk Islam ketika masih diperbudak. Setelah majikannya mengetahui bahwa Bilal masuk Islam, maka Bilal disiksa terus menerus setiap harinya, guna mengembalikan keyakinannya agar tidak memeluk Islam. Wikipedia

Lahir: 580 M, Mekkah, Arab Saudi

Meninggal: 2 Maret 640 M, Damaskus, Suriah

Kebangsaan: Etiopia

Dimakamkan: Bab ash-Shaghir, Damaskus, Suriah

Tempat dimakamkan: Pemakaman Bab al-Shaghir, Damaskus wikishia.net

Orang Tua: Hamamah, Raba

Mengenal Sosok Bilal bin Rabah, Budak yang Menjadi Muaddzin, Suaranya Begitu Mengguncang

 

Home

 » 

Ramadan

 » 

Hikayat

Mengenal Sosok Bilal bin Rabah, Budak yang Menjadi Muaddzin, Suaranya Begitu Mengguncang

Selasa, 7 Mei 2019 13:33 WIB

 



istimewa/gana Islamika

Ilustrasi Bilal 

TRIBUNNEWS.COM - Bilal bin Rabah, nama ini cukup terkenal. Mengapa? Kisahnya mengguncang “berhala” kaum Quraisy ketika peristiwa futuh Makkah cukup melegenda.

Bagaimana kisah Bilal bin Rabah? Yuk simak tulisan yang disarikan dari dua tulisan diGana Islamika

Apabila diucapkan namanya, setidaknya tujuh dari sepuluh Muslim di seluruh dunia akan mengenal namanya.

Derajat keterkenalan namanya bahkan setara dengan para Khulafaur Rasyidin (menurut Wikipedia adalah kekhalifahan yang berdiri setelah kematianNabi Muhammad SAW pada tahun 632 M, atau tahun 10 H)

Bagaimana tidak, namanya diperkenalkan kepada seluruh anak-anak Muslim di dunia dari sejak usia yang sangat dini. DialahBilal bin Rabah,

Muaddzin pertama dalam Islam, yang seruannya mengguncang “berhala” kaum Quraisy ketika peristiwa futuh Makkah.

Beberapa saat setelah peristiwa futuh Makkah, tibalah waktunya shalat Dzuhur.

Waktu itu ribuan orang berkumpul di sekitar Rasulullah SAW, termasuk orang-orang kafir Quraisy yang baru masuk Islam.
Pada saat-saat yang sangat bersejarah tersebut, Rasulullah SAW memanggil Bilal agar naik ke atap Kabah untuk mengumandangkan Adzan.

Bilal melaksanakan perintah tersebut dengan senang hati, lalu mengumandangkan Adzan dengan suaranya yang bersih dan jelas.

 

Home

 » 

Ramadan

 » 

Hikayat

Mengenal Sosok Bilal bin Rabah, Budak yang Menjadi Muaddzin, Suaranya Begitu Mengguncang

Selasa, 7 Mei 2019 13:33 WIB

 



istimewa/gana Islamika

Ilustrasi Bilal 

Adzan tersebut adalah adzan yang pertama dikumandangkan di Makkah dalam sejarah Islam.

Namun, siapakah sebenarnyaBilal bin Rabah?

Bila disebut nama Abu Bakar as-Siddiq, maka Umar bin Khattab akan berkata, “Abu Bakar adalah pemimpin kita yang telah memerdekakan ‘pemimpin kita’.”

Siapakah yang dimaksud dengan ‘pemimpin kita’ oleh Umar? Dialah Bilal.

Namun setiap menerima pujian yang ditujukan kepadanya, Bilal akan menundukkan kepala dan memejamkan mata.

Bilal menunduk dengan air mata mengalir yang membasahi pipinya, dia berkata, “aku ini hanyalah seorang Habsyi, dan kemarin aku seorang budak belian.”

Menurut riwayat, Bilal adalah seorang laki-laki kulit hitam, kurus, tinggi jangkung, berambut lebat dan bercambang tipis.

Benar apa yang dikatannya, sebelumnya dia adalah seorang budak belian.

Namun berkat keyakinannya yang kuat terhadap agama Islam dan kenabianNabi Muhammad SAW, beliau mendapat derajat dan kedudukan yang tinggi bersama orang-orang suci lainnya.

Bahkan banyak para pemuka dan petinggi kaum Quraisy yang sebelum datangnya Islam mempunyai kedudukan jauh di atas Bilal, namun setelah datangnya Islam, mereka tidak dapat menyaingi keharuman nama seorang Bilal si budak belian.

ebelum datangnya Islam, orang-orang Arab sangat membanggakan asal-usul keturunannya, dan di masa itu perbudakan masih merajalela.

Situasi sosial seperti itu, tentunya sangat merugikan bagi seorang budak yang asal-usulnya tidak jelas, dia tidak termasuk dalam Bani (kaum/keluarga besar) mana pun. 
Seorang budak pada masa itu tidak memiliki hak apapun, hidupnya telah dibeli oleh harta seorang tuan.

Setelah dibeli, dia murni milik tuannya, mereka bekerja menggembalakan hewan ternak milik tuan mereka. Keseharian parabudak kebanyakan hanya berada di antara kambing-kambing dan unta-unta milik para pembesar.

Namun apa yang terjadi pada dunia perbudakan di Arab pada saat itu sesungguhnya hanyalah salah satu bagian dari kondisi perbudakan yang sudah berlangsung sangat lama dalam sejarah manusia.

Sejarah tertua perbudakan tertulis dapat ditemukan dalam Hukum Hammurabi (1760 SM), namun fenomena perbudakan itu sendiri sudah jauh terjadi sebelum itu, yakni pada tahun 5300 SM pada masa kejayaan Bangsa Sumeria Kuno.

Hal serupa juga terjadi di Mesir Kuno, Bangsa Akadia, dan Assiria. Sekalipun demikian, sejarah perbudakan pada era tersebut tidak banyak dikenal, karena hanya Hukum Hammurabi saja yang bisa dijadikan bukti, di samping catatan hieroglif di Mesir pada masa Ramses II.

Untuk era ini, yang terinformasikan dari wacana perbudakan adalah status hukumbudak itu sendiri. Ini bisa dimengerti karena landasan dari sejarah ini didasarkan pada Hammurabi Code yang khusus bicara masalah hukum di Babilonia. Sedangkan di Mesir, perbudakan terjadi secara massive untuk membangun kota dan tempat-tempat lain bagi kerajaan. Untuk era-era setelah itu, perbudakan tetap terjadi dengan skala besar tetapi tidak terekam oleh sejarah secara terperinci.

Sejarah perbudakan yang secara terperinci tercatat, dimulai pada era Yunani Kuno (abad ke-7 SM). Pada masa Yunani Kuno, terdapat dua karakter perbudakan yang berada di dua kota terkemuka, yakni Spartha dan Athena. Kehidupan di kedua kota di Yunani tersebut sangat tergantung pada perbudakan yang diperoleh dari peperangan. Karakter perbudakan di Sparta lebih pada posisi “pelayan dan hamba” bagi tuannya, yang lazim dikenal dengan nama helot –satu predikat yang dilekatkan pada warga dari kota Helos . Posisi mereka adalah warga tidak bebas, artinya sebagai warga yang terikat oleh aturan-aturan khusus. Helot biasa dipekerjakan di sektor pertanian dan menjadi sokoguru perekonomian Sparta. Mereka dijadikan pekerja dan bahkan dalam ritual keagamaan digunakan sebagai persembahan.[8] (PH)


Baiat Aqabah Kubra adalah peristiwa Baiat terhadap penduduk Yastrib (Madinah) oleh Rasulullah mengenai pengesahan jalinan agama dan militer di bukit Aqabah, Makkah

Setelah semua Muslim berhijrah ke Madinah, yang tersisa di Makkah hanya tinggal tiga orang, yakniNabi Muhammad SAW sendiri, Abu Bakar as-Shiddiq, dan Ali bin Abu Thalib.

Mereka bertiga menetap di Makkah karena belum mendapat perintah dari Allah SWT untuk berhijrah. Suatu hari datanglah Jibril kepada Nabi Muhammad SAW, dia mengabarkan bahwa perintah berhijrah telah turun, seraya berkata, “janganlah engkau tidur di tempat tidurmu malam ini seperti biasanya.”

Nabi Muhammad SAW kemudian memberi perintah kepada Ali, beliau berkata, “tidurlah di atas tempat tidurku, berselimutlah dengan mantelku warna hijau yang berasal dari Hadhramaut ini.

Tidurlah dengan berselimut mantel itu. Sesungguhnya engkau tetap akan aman dari gangguan mereka yang engkau khawatirkan.” Demikianlah Ali menjadi pengganti Nabi untuk mengelabui orang-orang Quraisy.

Tengah malamnya, sebelas orang Quraisy hendak melakukan pembunuhan berencana terhadap Nabi Muhammad SAW. Di antara sebelas orang itu terdapat mantan majikan Bilal, yaitu Umayyah bin Khalaf. Atas izin Allah, mereka semua tidak dapat melihat Nabi ketika beliau keluar rumah.

Kemudian mereka masuk ke dalam rumah Nabi hendak membunuh orang yang sedang tertidur yang mereka kira Nabi. Ali kemudian bangkit dari tempat tidur dan langsung dikepung. Mereka bertanya keberadaan Muhammad. Ali menjawab, “aku tidak tahu.”[6]

Singkat cerita, pada akhirnya hampir seluruh Muslim dapat berhijrah ke Madinah, dan dari kota itulah secara perlahan umat Muslim dapat bangkit dan menjadi kekuatan yang diperhitungkan. Kembali kepada kisah Bilal bin Rabah, setelah kemerdekaannya, Bilal sangat setia terhadap Nabi Muhammad SAW, ke mana pun Nabi pergi, Bilal selalu mengikutinya.

“Aku, Bilal, budak Umayyah, akan memberitahumu tentang hari-hari yang harus dikagumi, aku ada di sana–dua puluh dua tahun mendampingi—ketika Muhammad, Rasulullah, berjalan di atas muka bumi, aku mendengar apa yang beliau katakan dan melihat apa yang beliau lakukan….” kata Bilal.[7]

Ketika Masjid Nabawi di Madinah selesai dibangun, Rasulullah telah mengambil keputusan akan menggunakan naqus (lonceng) sebagai alat untuk memanggil orang-orang untuk shalat. Namun Rasul sendiri tidak menyukainya karena menyerupai orang Nasrani. Hingga salah seorang sahabat Nabi yang bernama Abdullah bin Zaid bin Abdi Rabbih bermimpi, di dalam mimpinya itu dia didatangi seorang laki-laki.

“Laki-laki itu memakai baju hijau di tangannya membawa naqus. Aku bertanya kepadanya, ‘Ya Abdullah, apakah engkau mau menjual naqus itu?’ Orang itu menjawab, ‘akan kau gunakan untuk apa?’ Aku menjawab, ‘untuk memanggil orang buat shalat.’ Dia berkata, ‘maukah aku tunjukkan kepadamu cara yang lebih baik? Sebutlah Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar…. (diteruskan sampai dengan kalimat Adzan yang kita kenal hari ini).’ Maka aku bangun pagi, lalu pergi kepada Rasulullah. Aku kabarkan kepadanya mengenai mimpi itu. Lalu Rasulullah bersabda, ‘sesungguhnya mimpi itu betul, insya Allah.’…. ,” kata Abdullah bin Zaid.[8]

Kemudian Rasulullah memberikan perintah kepada Abdullah bin Zaid, “dapatkan Bilal dan katakan padanya apa yang telah engkau lihat, ajari dia kata-katanya sehingga dia bisa memberikan panggilan, karena dia memiliki suara yang indah.” Abdullah bin Zaid menemui Bilal dan mengajari kata-katanya.

Setelah diajari, mulailah Bilal Adzan, “Allaahu Akbar Allaahu Akbar. Allaahu Akbar Allaahu Akbar. Asyhadu an laa illaaha illallaah. Asyhadu an laa illaaha illallaah. Asyhadu anna Muhammadar rasuulullah. Asyhadu anna Muhammadar rasuulullah. Hayya ‘alas-shalaah. Hayya ‘alas-shalaah. Hayya ‘alal-falaah. Hayya ‘alal-falaah. Allaahu Akbar, Allaahu Akbar. Laa ilaaha illallaah.” Adzan tersebut adalah Adzan pertama dalam sejarah Islam, dan dilakukan oleh mantan budak yang sebelumnya dihinakan.


Umar bin Khattab mendengar seruan itu saat masih berada di rumahnya, dia buru-buru keluar, menyeret jubahnya di belakangnya, berkata, “demi Dia yang mengutusmu dengan kebenaran, wahai Rasulullah, aku melihat mimpi yang sama.”Nabi Muhammad SAW senang dan berkata, “segala puji bagi Allah.” (PH)

Kisah penyiksaan Bilal bin Rabah
Bilal bin Rabah merupakan orang berkulit hitam dari Habsyah (Ethiopia) yang memeluk agama Islam ketika masih menjadi budak. Dia merupakan salah satu sahabat Nabi yang dipilih untuk mengumandangkan azan pada zamannya. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun pertama Hijriah.
Ketika dia ketahuan memeluk agama Islam, dia terus-terusan disiksa setiap hari oleh sang majikan agar meninggalkan Islam.

Abu Bakar menemukan Bilal bin Rabah di bawah terik matahari. Saat itu, dia sedang mendapat hukuman dari majikannya bernama Umayyah di tengah padang pasir yang sangat panas dan lehernya pun diikat.

Bilal ditelentangkan menghadap matahari dan dadanya ditindih dengan batu yang sangat besar sehingga membuat napas Bilal terasa sesak.

Dikutip dari buku Kisah azan Terakhir Sahabat Nabi Bilal bin Rabbah, karya Muham Sakura Dragon, Umayyah dengan kejamnya menyiksa Bilal dan berkata, "Kamu tidak akan kulepaskan dari siksaan ini hingga kamu mau mendustakan Muhammad dan kembali mengikuti agamamu yang dulu. Sembahlah Latta dan Uzza", ucap Umayyah dengan lantang.

Bilal pun hanya dapat menjawab dengan lirih "Ahad! Ahad! Ahad!" dia bermaksud mengucap Allahu Ahad (Allah Maha Esa).

Sang majikan melakukan itu semua karena ingin mengembalikan Bilal kepada ajaran agamanya yang lama. Abu Bakar membebaskan Bilal dengan membelinya dari Umayyah. Kemudian Bilal dibawa Abu Bakar menuju ke rumahnya untuk dirawat dan diobati luka-lukanya.

Pada saat Rasulullah hijrah menuju Madinah, Bilal senantiasa menemani dan menjaga Rasullulah kemana pun, termasuk dalam setiap peperangan. Awalnya untuk mengetahui waktu salat, umat Islam berkumpul terlebih dahulu untuk menentukan waktu salat.

Karena menyulitkan akhirnya Nabi Muhammad memanggil salah satu umat untuk membunyikan terompet. Namun Rasullullah mengubahnya, dia beranggapan jika orang Yahudi menggunakan cara yang sama untuk memanggil kaumnya.

Tiba-tiba datanglah sahabat Nabi bernama Abdullah bin Zaid. Abdullah bin Zaid bermimpi bahwa ia bertemu seorang pria yang menggunakan dua helai kainberwarna hijau sambil membawa lonceng. Dia menawarkan diri untuk membeli bel tersebut, bel tersebut akan digunakan untuk memanggil orang-orang untuk salat.

Abdullah kembali menawarkan kepada Rasulullah SAW panggilan salat yang lebih baik yaitu empat kali seruan "Allahu Akbar" dua kali seruan "Asyhadualla Ilaaha Illallah" dua kali seruan "Asyhadu Annamuhammadarrasulullah" lalu dua kali "Hayya 'Alas Shalah" dan dua kali seruan "Hayya 'Alal Falah" lalu "Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa Ilaaha Illallah".

Nabi Muhammad SAW menyetujui pendapat Abdullah, dan memintanya untuk segara menemui Bilal untuk mengajarkan azan tersebut padanya. Bilal dipilih Rasulullah menjadi muadzin karena ia memiliki suara yang indah.

Selain itu Bilal mempunyai suara keras sehingga dapat menjangkau jarak jauh sekalipun. Bilal menjadi muadzin pertama yang mengumandangkan azan di kota Madinah.

Bilal sangat menikmati perannya sebagai muadzin, hingga suatu ketika Rasulullah meninggal dunia. Bilal bersiap untuk mengumandangkan azan pertamanya setelah Rasul meninggal. Namun saat dia berucap "Allahu Akbar" dan hendak mengucap nama Rasulullah, dia tidak kuasa menahan kesedihan itu.

Bilal menangis terisak-isak hingga dia tidak dapat meneruskan azannya. Dia lalu berkata bahwa tidak akan pernah lagi mengumandangkan azan. Bilal meminta Abu Bakar untuk membiarkannya pergi ke Suriah dan kemudian menetap di Kota Damakus hingga akhir hayatnya.

Setelah Rasulullah SAW wafat, Bilal hanya mengumandangkan azan sebanyak dua kali, yakni saat Umar bin Khattab datang ke Damakus dan ketika dia mengunjungi makam Rasulullah SAW di Madinah.

Empat Alasan Bilal bin Rabah Dipilih Menjadi Muadzin Pertama

Bilal bin Rabah adalah seorang budak berkulit hitam yang berasal dari Habasyah (Ethiopia). Majikannya, Umayyah bin Khalaf, adalah salah satu elit musyrik Makkah yang sangat menentang Rasulullah dan dakwah Islam. Bilal mulai tertarik dengan Islam ketika sering mendengar Umayyah bin Khalaf dan teman-temannya ‘membicarakan’ Rasulullah dan Islam. 


Singkat cerita, akhirnya Bilal menemui Rasulullah dan menyatakan diri masuk Islam. Ummayah bin Khalaf yang mengetahui budaknya masuk Islam marah besar. Berbagai macam tindakan kasar dan sadis dilakukan untuk memurtadkan Bilal. Mulai menjemur Bilal di padang pasir tanpa pakaian hingga menjatuhinya batu besar. Tapi bilal tetap keukeuh dengan keyakinan barunya, Islam.


Abu Bakar memerdekakan Bilal bin Rabah setelah mengetahui keadaannya yang begitu malang. Semenjak itu, Bilal selalu berada di dekat Rasulullah. Ia ikut berhijrah bersama Rasulullah dan para sahabat lainnya. Tempat tinggal Bilal pun tidak jauh dengan rumah Rasulullah ketika di Madinah. Bilal menjadi ahlu shuffah dan tinggal di emperan Masjid Nabawi bersama para sahabat lainnya, sementara Rasulullah tinggal di sebuah bilik yang masih menyambung dengan Masjid Nabawi.    


Di dalam Islam, semua manusia itu memiliki derajat yang sama. Hanya ketakwaannya lah yang membuat mereka mulia di sisi Allah, bukan warna kulit, suku, atau rasnya. Hal itu lah yang dialami Bilal. Meskipun ia berkulit hitam, berambut keriting, dan berlatar belakang budak namun Bilal lah yang dipilih Rasulullah untuk mengemban tugas yang mulia, yaitu menjadi muadzin pertama. 


Tentu saja ada omongan miring terkait hal ini. Terutama saat Bilal mengumandangkan adzan di atas Ka’bah ketika peristiwa Fathu Makkah. Kata mereka, apakah pantas budak hitam adzan di atas Ka’bah.


Lantas apa yang menyebabkan Bilal dipilih untuk menjadi muadzin pertama? Merujuk buku Ash-Shuffah (Yakhsyallah Mansur, 2015), setidaknya ada empat alasan mengapa Bilal diangkat menjadi penyeru umat Islam untuk shalat untuk yang pertama kalinya. Pertama, Bilal memiliki suara yang lantang dan merdu. Mungkin ini menjadi faktor pertama mengapa Rasulullah memberikan tugas kepada Bilal untuk menjadi muadzin pertama dalam Islam. Dikisahkan bahwa siapapun akan bergetar hatinya manakala mendengar Bilal bin Rabah mengumandangkan adzan atau membaca Al-Qur’an.  


Kedua, Bilal sangat menghayati kalimat-kalimat adzan. Ketika Bilal masih menjadi budak Ummayah bin Khalaf, dia disika dengan siksaan yang sangat keras agar keluar dari Islam. Mulai diseret dan dijemur di padang pasir dengan tanpa pakaian hingga dijatuhi batu besar tepat di atas dadanya. Bilal bergeming. Dia bahkan terus mengucapkan ahad, ahad, ahad, ketika disika. 


Pengangkatan Bilal sebagai muadzin pertama merupakan penghargaan kepadanya. Mengapa? Karena apa yang diucapkan Bilal ketika disiksa –ahad, ahad, ahad- memiliki unsur persamaan dengan kalimat-kalimat adzan, yaitu tauhid atau meng-esakan Allah. 


Ketiga, Bilal memiliki kesiplinan yang tinggi. Adzan dikumandangkan lima kali dalam sehari semalam. Waktunya pun sudah ditetapkan atau menjelang dilaksanakannya shalat fardhu. Untuk itu, diperlukan orang yang memiliki kedisiplinan yang tinggi untuk mengemban tugas sebagai muadzin. Dan Bilal bin Rabah adalah orang yang memiliki kedisplinan yang tinggi itu. 


Empat, Bilal memiliki keberanian. Untuk mengumandangkan adzan pada masa-masa awal dakwah Islam, maka diperlukan keberanian yang tinggi. Maklum saja, prinsip tauhid yang ada dalam kalimat adzan tentu saja bertentangan dengan kondisi masyarakat pada saat itu, dimana kemusyrikan dan penolakan terhadap Islam masih kencang. Bilal sudah terbukti memiliki keberanian yang tinggi. Disiksa sekeras apapun saat menjadi budak, dia tetap memegang teguh keyakinannya, Islam. 


Bilal terus mengumandangkan adzan. Namun saat Rasulullah wafat, dia tidak bersedia lagi menjadi muadzan. Alasannya, Bilal air matanya pasti akan bercucuran manakala sampai pada kalimat “Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah”sehingga membuatnya tidak kuasanya melanjutkan adzan. Bilal mengaku kenangan lamanya bersama Rasulullah akan muncul ketika sampai pada kalimat itu.


Khalifah Abu Bakar mencoba merayu Bilal untuk adzan lagi, namun usahanya tidak berhasil. Bilal bersedia untuk mengumandangkan adzan lagi ketika Khalifah Umar bin Khattab tiba di Yerusalem. Atas permintaan umat Islam, Khalifah Umar meminta Bilal untuk adzan sekali lagi saja. Bilal akhirnya naik mimbar dan adzan. Semua yang hadir menangis tersedu sedan mendengar adzan Bilal lagi, termasuk Khalifah Umar. Dan itu menjadi adzan terakhir Bilal. (A Muchlishon Rochmat)