Terjual |
: |
0 |
Disukai |
: |
0 |
Dilihat |
: |
126 |
Stok |
: |
1 |
Part: 36
Halaman: 501
Dia Wulan, adikku.
Tak pernah sebelumnya akan menduga, gadis cilik yang pernah kukenal dulu akan menjadi istriku. Bahkan mimpi dan harap pun enggan kubangun bersamanya. Karena dia hanya Wulan, gadis yang kukenal saat usianya 10 tahun, manja, cengeng, juga lucu. Itu Wulan.
Dan kini, setelah sekian tahun aku tak melihatnya. Wulan tak berubah sedikit pun. Wajahnya tetap sama, tak berubah, baby face dan menggemaskan, sifatnya pun sama, manut, penyabar, dan lucu. Satu hal yang kutahu tentangnya ia menyayangiku sejak lama, aku pun sama sayang padanya, tak lebih karena ia adikku, tapi entah dengannya sayang seperti apa yang ia harapkan padaku. Aku menyayanginya mungkin sanggup berkorban untuknya, karena ia hanya adikku.
Dan satunya, Agni.
Wanita keturunan Negeri Kangguru yang mungkin juga cinta pertamaku. Cinta tak pernah mengenal status, agama maupun kedudukan, karena cinta datang begitu saja, menggebu dan berhasrat. Hasrat ingin bersama dan memiliki.
Namun, ada benteng besar yang memisahkan kami. Benteng yang tak mampu kulalui meski ia melolong panjang. Benteng yang takkan pernah runtuh meski ribuan manusia mendorongnya. Aku mencintainya tapi tak mampu memilikinya.
Hingga kusadar bahwa cinta ini tak sebesar dengan cintaku pada Sang Pemilik raga juga napas, cinta yang terpatri sejak ku membuka mata, cinta yang dibisikkan oleh jutaan malaikat ketika menghantarkanku ke Bumi. Aku mencintai-Nya lebih besar dibanding cintaku pada Agni. Dan, hal itu membuatnya terluka, hingga mengharuskannya melompat dari ketinggian, menyebrangi benteng pemisah hingga raga dan batinnya terluka dan semua demi aku.
Lalu, aku sadar bahwa cinta yang begitu saja tumbuh untuk Agni tak bisa terlepas begitu saja. Melihatnya terluka akupun terluka, melihatnya menangis aku meringis dan nyatanya ketika Wulan menangis di depanku aku lemah, sama lemahnya seperti aku melihat Agni.
Ketika ribuan cara kucoba untuk bersama Agni, jutaan penghalang pun datang. Entah, tapi itu bukan aku. Bukan aku yang berusaha menghindar melainkan semesta yang tak merindukan kami berkasih.
Dan ketika raga ini rapuh, ribuan rahmat mendadak menerobos masuk ke dalam tulang rusuk, mencabik-cabik rongga hati. Hingga kusadar senjata adikku menembus hingga ke dalam. Senjata yang ia gunakan sejak lama, senjata yang ia lucutkan setiap malam, tak terlihat namun begitu terasa nyata.
Agni, cintanya turun dari mata kemudian menuju hati.
Sedang,
Wulan, cintanya turun dari langit dan langsung menembus hati.